assalamualaikum.....

Selamat datang di taman hati mumtaz, semoga blog ini bermanfaat bagi yang membacanya.....

Friday, January 13, 2012

Bercermin ditelaga teguran,,,



“Tolonglah saudaramu, baik dia zhalim atau dizhalimi. Apabila dia zhalim, cegahlah. Bila ia dizhalimi, menangkanlah.” (HR. Al-Bukhari)

Maha Suci Allah yang menciptakan alam ini begitu sempurna. Malam dan siang silih berganti melayani hidup manusia. Terang dan gelap pun menjadi sebuah kebutuhan makhluk-Nya di seluruh bumi. Tapi, tidak semua yang gelap boleh dibiarkan apa adanya.

Anggaplah teguran sebagai hadiah rabbaniyah

Tidak ada dosa dan kesalahan yang tanpa balasan. Semua akan dibalas oleh Allah swt., dalam kehidupan ini atau di akhirat kelak. Bayangkan jika dosa dan kesalahan bergulir tanpa terasa. Tanpa ada teguran, tanpa ada peringatan.

Menggunungnya dosa dan kesalahan bahkan bisa menyumbat semua cahaya kesadaran. Orang-orang seperti ini bukan hanya tidak menemukan pintu kesadaran, justru ia merasa kalau dirinya tergolong yang dapat petunjuk. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. [QS. Al-A'raf (7): 30]

Allah swt. selalu sayang pada hamba-hamba-Nya. Berbeda dengan orang kafir yang terus mendapat uluran peluang sehingga terus bermaksiat, orang mukmin tidak begitu. Sedikit bengkok, selalu ada teguran. Ada teguran langsung berupa musibah, ada teguran tidak langsung yang disuarakan melalui mulut manusia.

Allah swt. bahkan mencirikan mereka yang saling menegur sebagai generasi yang selamat dari bencana kerugian: dunia dan akhirat. Maha Agung Allah swt. dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” [QS. Al-Ashr (103): 1-3]

Anggaplah teguran sebagai ungkapan sayang

Kadang sulit menerjemahkan sebuah ungkapan dengan timbangan yang jernih dan lurus. Termasuk dalam soal teguran. Sederhananya, orang yang menegur diterjemahkan sebagai lawan yang menyusahkan, bahkan menjatuhkan.

Dalam timbangan akhlak, nilai sebuah teguran jauh dari terjemahan itu. Bahkan bertolak belakang. Teguran bukan untuk menyusahkan, melainkan memudahkan. Teguran bukan ungkapan marah, apalagi permusuhan. Melainkan, justru ungkapan sayang dan persaudaraan.

Rasulullah saw. yang mulia mengatakan, “Tiga perbuatan yang termasuk sangat baik, yaitu berzikir kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi, saling menyadarkan satu sama lain, dan menyantuni saudara-saudaranya (yang memerlukan).” (HR. Adailami)

Teguran adalah ungkapan sayang yang sejati seorang saudara terhadap saudaranya yang terjebak dalam kesalahan. Cinta karena Allah, dan benci pun karena Allah. Kalau bukan karena cinta, mungkin ia tak akan pernah menegur. Karena upaya itu begitu berat.

Anggaplah teguran sebagai guru lapangan

Teguran tidak selalu berhubungan dengan dosa. Tidak selalu berhubungan dengan sesuatu yang prinsip. Ada teguran yang memang sangat diperlukan ketika sebuah wilayah teoritis dibumikan dalam wilayah aplikatif.

Dalam hal berumahtangga misalnya. Ketika belum memasuki pernikahan, seseorang merasa sudah paham betul dengan yang namanya berumahtangga. Itu ia dapat dari buku, ceramah, dan sebagainya. Tapi, ketika berumahtangga menjadi sebuah kenyataan, semua menjadi berbeda. Realita kadang tidak selalu mengikuti idealita.

Terjadi kegamangan di situ. Ada konflik suami isteri. Sesuatu yang dalam teori begitu indah, ternyata begitu gersang dalam kenyataan di lapangan. Tentu, yang salah bukan idelitanya. Tapi, cara bagaimana menggapai idealita itu yang belum pas. Di sinilah, seseorang membutuhkan teguran. Dan teguran saat itu menjadi guru di lapangan realita.

Anggaplah teguran sebagai cermin memperindah diri

Ego manusia selalu mengatakan kalau ia serba sempurna. Tidak ada cacat. Tidak ada noda. Semua bagus. Kalau ada orang yang menilai lain, pasti si penilai yang teranggap salah.

Begitu pun yang mungkin terjadi dalam diri seorang mukmin. Dengan penuh percaya diri, ia yakini kalau semua langkahnya sempurna. Tidak ada yang salah. Yang salah adalah jika ada yang menganggapnya salah.

Dalam sudut pandang Islam, manusia adalah tempat salah dan lupa. Jadi, akan ada saja kemungkinan kalau seorang mukmin pun bisa khilaf. Kalau seorang ulama pun bisa salah. Kalau seorang pemimpin pun bisa kepeleset. Saat itu, ia butuh teguran sebagai cermin yang bisa menyadarkan.

Rasulullah saw. mengatakan, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (HR. Al-Bukhari)

Menata Timbangan Diri

“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan, menyejukkan hati yang gelisah.

Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh kejernihan.

Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya

Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik. Pasti masuk surga!”

Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.

Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”

Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.

Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya

Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.

Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”

Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.

Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin

Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.

Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.

Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan dari amal.

Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah terlalaikan.

Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”

Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)

Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.

Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR. Aththusi)

Seperti ini kah kita???


Lucu ya...
uang Rp 20,000an kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak amal mesjid
tapi begitu kecil bila kita bawa ke mall…


45 menit terasa terlalu lama untuk berdzikir, tapi betapa pendeknya waktu itu untuk PACARAN…dan KARAOKE...
...
betapa lamanya 2 jam berada di Masjid, tapi betapa cepatnya 2 jam berlalu saat menikmati pemutaran film di bioskop…


susah merangkai kata untuk dipanjatkan saat berdoa atau sholat, tapi betapa mudahnya cari bahan obrolan bila ketemu teman atau pacar...


betapa serunya perpanjangan waktu di pertandingan bola favorit kita, tapi betapa bosannya bila imam sholat Tarawih bulan Ramadhan kelamaan bacaannya…


susah banget baca Al-Quran 1 juz saja, tapi novel best-seller 100 halaman pun habis dilalap…


orang-orang pada berebut paling depan untuk nonton bola atau konser, tapi berebut cari shaf paling belakang bila Jumatan agar bisa cepat keluar…


susahnya orang mengajak partisipasi untuk dakwah,
tapi mudahnya orang berpartisipasi menyebar gossip…


kita begitu percaya pada yang dikatakan koran, tapi kita sering mempertanyakan apa yang dikatakan Al Quran…


begitu banyak orang segan/takut dipanggil sama boss, pejabat, dan orang "besar" lainnya, tapi begitu banyak orang yang cuek jika ada panggilan (adzan)/ dipanggil Allah..


kita bisa ngirim ribuan jokes lewat email, bbm, tapi bila ngirim yang berkaitan dengan ibadah sering mesti berpikir dua-kali…