assalamualaikum.....

Selamat datang di taman hati mumtaz, semoga blog ini bermanfaat bagi yang membacanya.....

Wednesday, October 12, 2011

Menata Timbangan Diri


“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan, menyejukkan hati yang gelisah.

Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh kejernihan.

Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya

Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik. Pasti masuk surga!”

Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.

Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”

Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.

Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya

Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.

Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”

Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.

Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin

Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.

Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.

Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan dari amal.

Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah terlalaikan.

Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”

Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)

Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.

Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR. Aththusi)

Sadar dengan sebuah kehilangan


“Orang yang pandai adalah yang senantiasa mengoreksi diri dan menyiapkan bekal kematian. Dan orang yang rendah adalah yang selalu menurutkan hawa nafsu dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi)

Maha Besar Allah Yang menghidupkan bumi setelah matinya. Air tercurah dari langit membasahi tanah-tanah yang sebelumnya gersang. Aneka benih kehidupan pun tumbuh dan berkembang. Sayangnya, justru manusia mematikan sesuatu yang sebelumnya hidup.

Tanpa terasa, kita sudah begitu boros terhadap waktu

Trend hidup saat ini memaksa siapapun untuk menatap dunia menjadi begitu mengasyikkan. Serba mudah dan mewah. Sebuah keadaan dimana nilai kucuran keringat tergusur dengan kelincahan jari memencet tombol. Dengan bahasa lain, dunia menjadi begitu menerlenakan.

Tidak heran jika gaya hidup perkotaan menggiring orang menjadi manja. Senang bersantai dan malas kerja keras. Di suasana serba mudah itulah, waktu menjadi begitu murah. Detik, menit, jam, hingga hari, bisa berlalu begitu saja dalam gumulan gaya hidup santai.

Sebagai perumpamaan, jika seseorang menyediakan kita uang sebesar 86.400 rupiah setiap hari. Dan jika tidak habis, uang itu mesti dikembalikan; pasti kita akan memanfaatkan uang itu buat sesuatu yang bernilai investasi. Karena boleh jadi, kita tak punya apa-apa ketika aliran jatah itu berhenti. Dan sangat bodoh jika dihambur-hamburkan tanpa memenuhi kebutuhan yang bermanfaat.

Begitulah waktu. Tiap hari Allah menyediakan kita tidak kurang dari 86.400 detik. Jika hari berganti, berlalu pula waktu kemarin tanpa bisa mengambil waktu yang tersisa. Dan di hari yang baru, kembali Allah sediakan jumlah waktu yang sama. Begitu seterusnya. Hingga, tak ada lagi jatah waktu yang diberikan.

Sayangnya, tidak sedikit yang gemar membelanjakan waktu cuma buat yang remeh-temeh. Dan penyesalan pun muncul ketika jatah waktu dicabut. Tanpa pemberitahuan, tanpa teguran.

Allah swt. berfirman, “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (dari Allah swt.).” (Al-Anbiya’: 1)

Tanpa terasa, kita kian jauh dari keteladanan Rasul dan para sahabat

Pergaulan hidup antar manusia memunculkan tarik-menarik pengaruh. Saat itulah, tanpa terasa, terjadi pertukaran selera, gaya, kebiasaan, dan perilaku. Semakin luas cakupan pergaulan, kian besar gaya tarik menarik yang terjadi.

Masalahnya, tidak selamanya stamina seseorang berada pada posisi prima. Kadang bisa surut. Ketika itu, ia lebih berpeluang ditarik daripada menarik. Tanpa sadar, terjadi perembesan pengaruh luar pada diri seseorang. Pelan tapi pasti.

Suatu saat, orang tidak merasa berat hati melakukan perbuatan yang dulunya pernah dibenci. Dan itu bukan lantaran keterpaksaan. Tapi, karena adanya pelarutan dalam diri terhadap nilai-nilai yang bukan sekadar tidak pernah dicontohkan Rasul, bahkan dilarang. Sekali lagi, pelan tapi pasti.

Anas bin Malik pernah menyampaikan sebuah ungkapan yang begitu dahsyat di hadapan generasi setelah para sahabat Rasul. Anas mengatakan, “Sesungguhnya kamu kini telah melakukan beberapa amal perbuatan yang dalam pandanganmu remeh, sekecil rambut; padahal perbuatan itu dahulu di masa Nabi saw. kami anggap termasuk perbuatan yang merusak agama.” (Bukhari)

Tanpa terasa, kita jadi begitu asing dengan Islam

Pelunturan terhadap nilai yang dipegang seorang hamba Allah terjadi tidak serentak. Tapi, begitu halus: sedikit demi sedikit. Pada saatnya, hamba Allah ini merasa asing dengan nilai Islam itu sendiri.

Ajaran Islam tentang ukhuwah misalnya. Kebanyakan muslim paham betul kalau orang yang beriman itu bersaudara. Saling tolong. Saling mencintai. Dan, saling memberikan pembelaan. Tapi anehnya, justru nilai-nilai itu menjadi tidak lumrah.

Semua pertolongan, perlindungan, pengorbanan kerap dinilai dengan kompensasi. Ada hak, ada kewajiban. Ada uang, ada pelayanan. Tiba-tiba seorang muslim jadi merasa wajar hidup dalam karakter individualistik. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, seorang dai merasa enggan berceramah di suatu tempat karena nilai bayarannya kecil. Sekali lagi, tak ada uang, tak ada pelayanan.

Firman Allah swt. “Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami, kecuali karena rahmat dari Tuhanmu….” (Al-Isra’: 86-87)

Tanpa terasa, kita tak lagi dekat dengan Allah swt.

Inilah sumber dari pelunturan nilai keimanan seorang hamba. Kalau orang tak lagi dekat dengan majikannya, sulit bisa diharapkan bagus dalam kerjanya. Kesungguhan kerjanya begitu melemah. Bahkan tak lagi punya nilai. Asal-asalan.

Jika ini yang terus terjadi, tidak tertutup kemungkinan, ia lupa dengan sang majikan. Ketika seorang hamba melupakan Tuhannya, Allah akan membuat orang itu lupa terhadap diri orangnya sendiri. Ada krisis identitas. Orang tak lagi paham, kenapa ia hidup, dan ke arah mana langkahnya berakhir.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)